Kepada yang
Terhormat,
Engkau yang tak
pernah mengerti, apa arti dari kata ‘Perempuan’
Di,
Tempat
Dear ‘Engkau’,
Hey, apa kabar?
Kau masih mengingat aku?
Kuharap sama halnya
seperti aku yang mengingat kali pertama kita berjumpa.
Aku ingat kamu, pemuda lugu yang
penuh dengan keceriaan.
Berjalan lurus ke
arahku sambil melambaikan tangan perlahan dan duduk tak jauh dari tempatku
berada.
Malu-malu, kau memandangku, dan
menanyakan ‘ada apa’ padaku.
Dan kemudian,
berjuta semangat menyerbuku dengan hantaman senyum ketika kau mendengar bahwa
antusiasmeku sedang menghilang entah kemana.
Kau penuhi mata kecilku dengan mata yang penuh binar, dan kau warnai telingaku
dengan tawa kecil yang mengalir dari bibirmu.
Aku tahu, kau menahan diri untuk
mengelus puncak kepalaku.
Benar kan?
Ah, aku jadi larut
di masa lalu.
Aku jadi teringat
masa sekarang.
Aku yang terlalu
rapuh untuk tetap kukuh ber-topeng-anonymous-di-wajah.
Dan kamu.
Kamu yang tak pernah letih menahan ‘topeng’ itu agar tetap terpasang
menutupi wajahku.
Apa aku serapuh itu
di matamu?
Aku selalu berusaha
nampak kuat.
Berusaha agar seolah
terlihat, ‘aku tanpa beban’.
Apa sejelas itu aku
terlihat rapuh?
Pernahkah kau membaca sebuah
artikel tentang wanita?
Wanita adalah
makhluk yang rapuh, juga labil.
Wanita adalah makhluk
yang pandai memendam rasa.
Wanita adalah
makhluk yang amat perasa.
Dan kau tahu?
Bagaimanapun, aku
sama seperti wanita pada umumnya.
Aku lemah.
Aku rapuh.
Aku labil.
Aku memendam rasa.
Se’kuat-kuat’nya
aku,
Se’bahagia-bahagia’nya
aku,
Se’keras-keras’nya
tawaku,
Aku punya berjuta
keluh juga kesah yang kupupuk dalam dada.
Aku, dan hatiku.
Juga kamu.
Adalah tiga hal,
yang entah mengapa, tak pernah bisa terpisahkan dari kepalaku.
Yang entah mengapa,
selalu berhasil membuatku gamang.
Yang entah mengapa,
selalu mempengaruhi suasana hatiku.
Kau tahu?
Malam ini, aku ingin
berbagi kisah.
Mulanya.
Tapi kuurungkan.
Karna aku tak siap
untuk membuka diri, dan berbagi rasa denganmu.
Mungkin belum
waktunya.
Jadi, biarkan malam
ini aku menyimpan semuanya sendiri seperti sebelumnya.
Biarkan aku
terbungkam dengan tatapan mata sunyi seperti biasanya.
Biarkan aku menjauh
dari keramaian.
Biarkan aku memiliki
waktuku sendiri.
Tapi, tolong..
Tetaplah bertahan di
sisiku.
Setidaknya sampai nanti, aku sudah mampu
bangun dan kembali melangkah sendiri seperti semula.
Tetaplah disini.
Bersamaku, mengukir
kembali senyum dan keceriaan yang semula ada di sisi hati dalam dadaku.
Tetaplah menemaniku.
Mendampingiku,
sampai semua rasa resah ini berlalu pergi meninggalkan aku bersama kamu, dan
cerita baru yang kembali berwarna.
Terimakasih,
Tertanda,
( Aku )