Rabu, 05 November 2014

Sepucuk Surat Dariku, Untuk Kamu

Kepada yang Terhormat,
Engkau yang tak pernah mengerti, apa arti dari kata ‘Perempuan’
Di,
Tempat


Dear Engkau’,

Hey, apa kabar?
Kau masih mengingat aku?
Kuharap sama halnya seperti aku yang mengingat kali pertama kita berjumpa.
Aku ingat kamu, pemuda lugu yang penuh dengan keceriaan.
Berjalan lurus ke arahku sambil melambaikan tangan perlahan dan duduk tak jauh dari tempatku berada.
Malu-malu, kau memandangku, dan menanyakan ‘ada apa’ padaku.
Dan kemudian, berjuta semangat menyerbuku dengan hantaman senyum ketika kau mendengar bahwa antusiasmeku sedang menghilang entah kemana.
Kau penuhi mata kecilku dengan mata yang penuh binar, dan kau warnai telingaku dengan tawa kecil yang mengalir dari bibirmu.
Aku tahu, kau menahan diri untuk mengelus puncak kepalaku.
Benar kan?

Ah, aku jadi larut di masa lalu.
Aku jadi teringat masa sekarang.
Aku yang terlalu rapuh untuk tetap kukuh ber-topeng-anonymous-di-wajah.
Dan kamu.
Kamu yang tak pernah letih menahan ‘topeng’ itu agar tetap terpasang menutupi wajahku.

Apa aku serapuh itu di matamu?
Aku selalu berusaha nampak kuat.
Berusaha agar seolah terlihat, ‘aku tanpa beban’.

Apa sejelas itu aku terlihat rapuh?

Pernahkah kau membaca sebuah artikel tentang wanita?
Wanita adalah makhluk yang rapuh, juga labil.
Wanita adalah makhluk yang pandai memendam rasa.
Wanita adalah makhluk yang amat perasa.

Dan kau tahu?
Bagaimanapun, aku sama seperti wanita pada umumnya.
Aku lemah.
Aku rapuh.
Aku labil.
Aku memendam rasa.
Se’kuat-kuat’nya aku,
Se’bahagia-bahagia’nya aku,
Se’keras-keras’nya tawaku,
Aku punya berjuta keluh juga kesah yang kupupuk dalam dada.

Aku, dan hatiku.
Juga kamu.
Adalah tiga hal, yang entah mengapa, tak pernah bisa terpisahkan dari kepalaku.
Yang entah mengapa, selalu berhasil membuatku gamang.
Yang entah mengapa, selalu mempengaruhi suasana hatiku.

Kau tahu?
Malam ini, aku ingin berbagi kisah.
Mulanya.
Tapi kuurungkan.
Karna aku tak siap untuk membuka diri, dan berbagi rasa denganmu.
Mungkin belum waktunya.

Jadi, biarkan malam ini aku menyimpan semuanya sendiri seperti sebelumnya.
Biarkan aku terbungkam dengan tatapan mata sunyi seperti biasanya.
Biarkan aku menjauh dari keramaian.
Biarkan aku memiliki waktuku sendiri.

Tapi, tolong..

Tetaplah bertahan di sisiku.
 Setidaknya sampai nanti, aku sudah mampu bangun dan kembali melangkah sendiri seperti semula.

Tetaplah disini.
Bersamaku, mengukir kembali senyum dan keceriaan yang semula ada di sisi hati dalam dadaku.

Tetaplah menemaniku.
Mendampingiku, sampai semua rasa resah ini berlalu pergi meninggalkan aku bersama kamu, dan cerita baru yang kembali berwarna.

Terimakasih,

Tertanda,





( Aku )

Sabtu, 01 November 2014

Catatan Cinta

“Terimakasih telah hadir di hidupku”, ujar Hati dengan wajah bersemu.

Yang diajak bicara hanya diam, bibirnya samar mengukir ulasan memanjang yang manis.

“Maaf ego-ku sering mendahului kamu”, kali ini Perasaan yang angkat bicara.

Yang diajak bicara masih diam seribu bahasa.

“yah, kau tahu? Aku seringkali berusaha menyatukan dan menengahi kalian. Tapi kalian justru yang selalu mengalahkanku”, ucap Akal sambil terkekeh geli.

Kali ini semuanya tertawa.


“kalian ini berlebihan sekali”, gumam sebuah suara.

Semua tawa mendadak terhenti.

“apa maksudmu?”, tanya Iman heran mendengar suara dari lawan bicaranya yang sejak semula terdiam.

“Aku takkan bisa ada, duduk disini bersama-sama, jika bukan karna kalian”, kata suara itu lagi.

“Kami?”

“Ya, kau tahu? Kelembutan Hati yang tergugah oleh senggolan dari Perasaan saat bertemu Dia pertama kali di koridor. Aku hadir karna sejak awal Akal menghembuskan sebaris penilaian positif saat bertemu. Dan aku akhirnya bisa duduk bersama setelah Dia membuktikan ketulusan hatinya dihadapan kalian. Tapi aku tetap tak bisa membaur sepenuhnya dengan kalian, sebab Iman memperingatkanku untuk berhati-hati dan menjaga diri. Aku masih semu, masih bisa hilang eksistensinya dengan begitu mudah. Cukup kalian pengaruhi Akal dan Hati, maka aku akan pergi. Tak ada yang bisa kalian lakukan untuk mengubah pikiran Perasaan. Ia akan tetap sama sampai kapanpun. Yang jelas, nanti mungkin akan ada satu lagi yang hadir dan menggantikan aku kelak”, papar pemilik suara.


“siapa? Bukankah kau adalah segala yang paling berpengaruh disini?”, tukas Akal seolah tak setuju.
“Namanya Luka. Luka adalah rasa sakit tak terperi yang akan dirasakan oleh Hati dan Perasaan. Bahkan mungkin akan berpengaruh padamu, Akal. Tapi dengan nama lain, manusia mengenalnya dengan istilah Trauma”, jawab suara misterius lagi.

Mata Hati menyimak tak berkedip, “Tapi kau tak benar-benar akan pergi kan? Kau ini CINTA. Cinta bagaimanapun amat dibutuhkan oleh aku, Akal, Perasaan dan bahkan oleh Iman. Kau tak bisa begitu saja pergi!”, sahutnya emosi.

“hey hey, sabarlah”, tahan pemilik suara yang bernama Cinta tadi, bibirnya mengurai kekehan kecil, “aku takkan pergi jika bukan karna alasan kuat”.

“alasan seperti apa misalnya?”, tanya Perasaan.

Kali ini Cinta berpikir sejenak, “Kecewa mungkin?”, gumamnya, “atau mungkin Cemburu? Hm, entahlah aku tak yakin”.

“aku mengerti, Cinta”, sambung Iman, “Cinta memang hadir menemani kita disini. Menghangatkan dan menyatukan kita semua, termasuk kau, Jasad”, Iman menuding ke arah Jasad yang sejak awal terdiam di sudut ruangan.


Jasad hanya angkat bahu tak bicara seolah setuju.

“Cinta hanya akan hilang oleh hal yang bisa merusak citanya. Cinta akan hilang jika kita tak menjaga apa yang ia percayakan pada kita”, Iman melanjutkan ucapannya, “aku percaya padamu, Cinta. Kita akan berjalan bersama. Aku, dan kau”


Suasana lalu mendadak hening.

“dan aku”, kata Hati.

“aku”, kali ini suara Perasaan.

“yah, aku juga”, sambung Akal, “setidaknya akan ku coba hehe”.

“Aku juga kalau begitu”, kata Jasad sambil mengibaskan tangannya yang seolah berdebu.


Cinta tersenyum memandang mata sahabat-sahabat terbaiknya, gumaman hati yang membisikkan sebaris doa agar kehadirannya kekal bersemayam sampai akhir..




#CatatanCinta 2014