Selasa, 21 April 2015

Aku Kasihan

Kasihan sekali rasanya aku,
Pada riak gelombang air di tengah lautan.
Betapa tekunnya ia memperhatikan setiap inci besarnya gelombang sampai tak ada satu detailpun yang terlewat.
Betapa ia, tanpa lelahnya, menerpa daratan dengan hempasan yang datang dan pergi silih berganti, tanpa pernah menghancurkan detail artefak penting yang berbaris di deretan pasir pantai.
Betapa ia, dengan ikhlasnya, mengantarkan dengan hati-hati, setiap muatan organisme dalam tiap liter debur gelombang dalam dirinya.
Tapi pernahkah kau berterimakasih pada sang Laut?
Atas semua yang pernah ia hantarkan dan berikan dengan segenap ketulusan hatinya?
Apakah tiap serpih sampah yang kau lemparkan padanya merupakan sebuah imbalan darimu untuk Laut?
Ataukah ceceran minyak dari mesin-mesin bor ditengah Laut itu merupakan satu dari ribuan macam dekorasi yang cocok untuk molekul air milik Laut?
Pernahkah Laut melepaskan sebuah amarah atas apa yang telah kau lakukan padanya?
Pernahkah ia menyatakan ketidaksukaannya padamu?
Kurasa tidak.

Kasihan sekali rasanya aku,
Pada langit biru yang terhampar luas tanpa lipatan yang tak beratur.
Dengan tenang, diarahkannya hembusan angin agar membawa arak-arak awan untuk menutupi apa apa yang ada dibawahnya dari teriknya sinar mentari.
Dengan lembut, dijaganya mata-mata milik makhluk hidup dalam naungannya, agar terjaga dari silaunya terik mentari dengan memandang warna birunya yang menawan.
Langit dengan sabar, terus membujuk Awan agar secara rutin menurunkan rintik hujan pada daratan tempatmu berpijak.
Tapi pernahkah kau berterimakasih pada sang Langit?
Apakah serbuan asap-asap hitam dari mesin bermotormu adalah bentuk penghargaan dari apa yang telah ia lakukan untukmu?
Apakah kepulan awan hitam dari cerobong asap pabrik milikmu menjadi sebuah confetti bagi indahnya biru milik Langit?
Tapi pernahkah Langit membencimu?
Pernahkah Langit pergi dan meninggalkanmu sendiri bersama mentari?
Kurasa tidak.

Kasihan sekali rasanya aku,
Pada rumpun dedaunan hijau di tiap tangkai dari dahan pepohonan.
Mereka yang dengan usaha tanpa henti, menyerap 'confetti' Hitam dari ujung corong besi di benda-benda penuh mesin rumit yang kau berikan pada Langit, lalu mengubahnya dalam bentuk hembusan udara berisi oksigen.
Mereka yang tanpa lelah selalu bekerja, menjadikan setiap inci dari tubuhnya untuk menjadi yang terbaik agar kemudian bisa kau gunakan sebagai bahan bagi makanan makhluk-makhluk hidup disekitarnya.
Mereka yang selalu menjadi tempat berlindung bagi sesiapa yang tak lagi sanggup berhadapan dengan teriknya Mentari, dengan lembut, mereka memayungimu dengan rimbunan hijau dedaunan yang membentuk barisan serupa atap yang memayungimu.
Tapi pernahkah kau menghargai apa yang telah mereka lakukan dan berikan?
Setidaknya dengan sebuah siraman air dan tumpukan pupuk di akarnya?
Setidaknya dengan tidak mencabuti dedaunan miliknya, atau bahkan menebang batang tubuhnya?
Kurasa tidak.

Kasihan sekali rasanya aku, padamu.
Kau memiliki aku, disisimu, sebagai seseorang yang selalu memperhatikanmu dan mengingatkanmu saat kau lalai.
Kau yang memiliki aku, disisimu, sebagai seseorang yang selalu menyayangimu dan memberikanmu singgasana khusus bagi dirimu di dalam hatiku.
Kau memiliki aku yang selalu menunggumu, bahkan jika saat kau tak butuh, kau melupakan hadirnya diriku.
Tapi pernahkah kau berterimakasih padaku?
Pernahkah kau menghargaiku?
Atau setidaknya, pernahkah kau menganggap bahwa diriku benar-benar ada?
Apakah rasa sakit yang selalu kau berikan padaku merupakan bentuk terimakasih atas apa yang sudah kulakukan untukmu?
Apakah rasa kecewa yang kau berikan untukku merupakan bentuk penghargaan dari apa yang sudah kuberikan padamu?
Pernahkah kau sungguh-sungguh 'melihat' aku?

Kurasa tidak.☺

Kamis, 09 April 2015

Tangis Ditengah Hujan

"Hujan lagi", katamu..
Tak seperti orang lain, kau selalu mengucapkannya sambil tersenyum.
Iya, aku tahu.
Disaat orang lain sibuk mengutuki derasnya rinai hujan yang membuat mereka tak bisa beraktifitas, kau justru mensyukuri setiap tetes bening air.
"Hujan terlalu indah untuk dirutuki", katamu.
Jika disetiap tetes air terdapat satu berkah dari Tuhan, maka berapakah berkah yang Dia turunkan dalam sekali hujan?

Engkau, dengan senyum tulusmu begitu memuja hadirnya hujan.
Bagimu, yang memiliki kehidupan di persawahan, hujan itu sumber penghidupan.
Bagimu, yang menanam beberapa tanaman di kebun rumah, hujan itu jantung bagi manusia.

Katamu, "Hujan itu Romantis"
Setiap kali hujan turun, kau ingat aku.
Setiap kali desau angin terasa dingin dan sejuk, kau ingat aku yang seringkali merasa kedinginan saat bersamamu.
Setiap kali kau menghampiri tungku penghangat disaat hari hujan, kau ingat aku yang tak pernah sanggup bertahan jika berhadapan dengan dinginnya hujan.
Kau juga selalu mengingatku saat langit baru saja membentuk armada besar berwarna gelap di semesta angkasa. Mengingatkanmu pada tawaku yang selalu memberitahu bahwa hujan, kesukaanmu, akan segera turun.

Kau tahu?
Sebenarnya semua kebiasaanmu mengingatku itu kini sangat mengangguku.
Menyebalkan.
Kini aku selaku mengingatmu jika memandang langit.
Lihatlah keluar, desau angin yang begitu sejuk, juga gerombolan awan-awan hitam telah berkumpul padat. Menandakan bahwa sebentar lagi, hujan yang amat kau suka, akan segera turun.

Tuhan,
Ini benar-benar menyebalkan.
Aku sedang berusaha untuk tak merindukanmu.
Tapi langit seolah meledekku dan berusaha membuatku untuk meninggalkan usahaku.
Entah kenapa, semakin aku berusaha untuk lupa, semakin rindu rasanya hati ini padamu.

Lihatlah keluar, aku berdiri ditengah hujan, melupakan rasa dingin yang seolah menusuk tulangku.
Semakin banyak tetes hujan yang menyentuh kulitku, semakin banyak pula memori-memori tentang kebersamaan kita muncul ke alam pikiranku.
Membuatku semakin sadar kalau aku amat sangat merindukanmu.
Dan membuatku sadar bahwa rindu itu hanya sekedar rindu yang tak bisa kulepaskan dalam sebuah pertemuan.
Tapi,
Aku bisa apa?
Aku hanya mampu terdiam disini, menyisipkan bisik rindu dalam luapan tangis di tengah hujan..