Rabu, 15 Januari 2014

Pelajar Islam Indonesia

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pelajar_Islam_Indonesia
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.
Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualism sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum de-ngan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri “teklekan".
Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan terse-but kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudi-an memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947.
Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.
Tujuan
PADA mulanya tujuan PII adalah, "Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh anggotanya." Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli 1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi "Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan Islam bagi Republik Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di Palembang menjadi "Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil Kongres VII tersebut yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4.
Tugas Pokok, Fungsi dan Usaha
Pelajar Islam Indonesia mempunyai tugas pokok melaksanakan pelatihan, taklim dan kursus bagi para pelajar Islam guna menumbuhkan kader umat dan kader bangsa yang berkepribadian muslim, cendekia dan memiliki jiwa kepemimpinan (AD Bab V Pasal 5). Sementara itu, organisasi ini berfungsi sebagai wadah pembinaan kepribadian muslim, penghantar sukses studi, sarana berlatih dan alat perjuangan bagi pelajar Islam (AD Pasal 6).
Untuk mewujudkan tujuannya, PII bergerak secara independen di bidang pen-didikan, kebudayaan dan dakwah. Adapun usaha yang dilakukan PII –sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah : 1. Mendidik anggotanya untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.
2. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, ketrampilan, minat dan bakat anggo-tanya.
3. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen/mandiri dan kesanggupan berdiri sendiri tanpa ketergantungan kepada orang lain.
4. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan serta kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi anggotanya.
5. Membina anggota menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan cakap dalam mengelola arus informasi global dunia serta menangkal dampak negatif produk-produk budaya asing dan arus informasi global tersebut.
6. Membantu dalam pemenuhan minat dan kebutuhan serta mengatasi problematika pelajar.
7. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk kepentingan Islam dan umat Islam, serta umat manusia pada umumnya.
8. Menumbuhkembangkan semangat dan kemampuan anggota untuk menguasai, memanfaatkan serta mengikuti perkembangan Ilmu Pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan umat manusia.
9. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan anggota untuk memahami, mengkaji, mengapresiasi dan melaksanakan ajaran serta tuntunan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
10. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami, kelu-asan pandangan dunia global dan kepribadian muslim dalam segala bidang kehidupan.

Keanggotaan
PADA awal berdirinya PII, muncul reaksi dari IPI yang menilai kehadiran PII bisa menimbulkan perpecahan di kalangan pelajar. Untuk menghindari terjadinya konflik, diadakanlah pertemuan PII dengan IPI pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut kemudian ditandatangani Piagam Malioboro oleh Sekjen PB IPI Busono Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasji. Salah satu butir penting dari piagam tersebut adalah hak hidup PII oleh IPI. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan piagam tersebut maka dimana ada IPI akan didirikan PII. Saat itu IPI sudah ada di hampir seluruh wilayah Indonesia yanga da sekolah menengahnya. Para pelajar Islam yang menjadi anggota IPI pun ikut membantu berdirinya PII. Sebaliknya PII bersedia bekerja sama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan bersama dan bersifat nasional. Dalam perjalanan selanjutnya perkembangan PII ternyata jauh lebih pesat dari IPI. Hal itu ditunjang dengan bergabungnya organisasi-organisasi pelajar Islam lokal ke tubuh PII. Selain PPII (Yogyakarta), PPIS dan PERKISEM (Surakarta) yang ikut mendirikan PII, pada saat penyelenggaraan Kongres I PII, 14-16 Juli di Solo, Persa-tuan Pelajar Islam Indonesia (PERPINDO) dari Aceh juga memfusikan diri ke dalam tubuh PII. Perkembangan anggota semakin pesat pada tahun 1960-an setelah Masyumi (1960) dan GPII (1963) dibubarkan oleh pemerintah. Hal itu mendorong PII mem-buat penafsiran sendiri terhadap kata pelajar. Kalau sebelumnya pelajar adalah mereka yang di pesantren dan sekolah, kemudian diperluas menjadi minal mahdi ilal lahdi (dari ayunan sampai ke liang lahat), sesuai dengan hadits nabi tentang perintah mencari ilmu. Sehingga PII juga menjadi penampung aspirasi mantan-mantan anggota Masyumi dan GPII.
Jumlah anggota PII mulai menyusut di tahun 1980-an seiring dengan mengu-atnya nuansa politis dalam aktifitas PII, sementara pemerintah saat itu justru ber-kesan tengah mendepolitisir umat Islam. Puncak dari penyusutan itu adalah ketika PII tidak mau menyesuaikan diri dengan UU Keormasan yang disahkan 17 Juni 1985 dan mulai diberlakukan 17 Juni 1987. Akibatnya kemudian Mendagri mengeluarkan SK Mendagri No. 120/1987 tertanggal 10 Desember 1987 yang menganggap PII telah membubarkan diri dan selanjutnya melarang kegiatan yang mengatasnamakan PII. Ketika SK itu keluar, menurut Ketua Umum PB PII saat itu Chalidin Yacobs, jumlah anggota PII mencapai 4 juta orang. Namun delapan tahun kemudian, 1995, jumlah anggota PII aktif sepertinya tidak mencapai 100.000 orang.
Meski demikian, PII tidak pernah mati. Sadar penyusutan anggota tidak bisa dibiarkan begitu saja, maka ihtiar untuk bangkit kembali pun dicanangkan. Momentumnya adalah pada Muktamar Nasional XX PII tahun 1995 di Cisalopa, Bogor. Setelah melalui perdebatan sengit, diputuskan PII akan melakukan reformalisasi dengan melakukan registrasi ke Depdagri. Sejak itu jumlah anggota PII kembali terdongkrak. Hanya karena sistem administrasi yang belum rapi sesuai standard administrasi sebuah organisasi formal, jumlah secara pasti seluruh anggota PII belum bisa diketahui.
Untuk penataan kembali administrasi keanggotaan PII, maka ditentukan per-syaratan keanggotaan di PII yang meliputi anggota tunas, anggota muda, anggota biasa, anggota luar biasa dan anggota kehormatan. Anggota tunas, mereka yang duduk dijenjang pendidikan dasar (SD/MI), anggota muda, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah pertama (SLTP/MTs), anggota biasa, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah atas (SMU/SMK/MA), anggota luar biasa warga negara asing yang sedang belajar di Indonesia atau sebaliknya, dan anggota kehormatan adalah mereka yang memiliki jasa terhadap PII. Masa keanggotaan PII akan berakhir secara otomatis, bila yang bersangkutan telah dua tahun menyelesaikan pendidikan formalnya.
Kepengurusan
KEPENGURUSAN PII terdiri dari empat jenjang institusi. Yang terendah Pengu-rus Komisariat (PK), berbasis kecamatan, sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Untuk membentuk Pengurus Komisariat, minimal memiliki 25 orang anggota. Peng-urus Daerah (PD) sebagai institusi kepengurusan berikutnya, selain berbasis kabu-paten/kotamadya juga bisa berbasis pesantren atau perguruan tinggi. Dalam satu kabupaten/kotamadya, jika dipandang perlu bisa juga dibentuk lebih dari satu PD, dengan syarat masing-masing memiliki mini-mal 100 anggota. Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah misalnya, selain ada PD PII Brebes juga ada PD PII Bumiayu (salah satu Kawedanan di Brebes). Pengurus Wilayah (PW) berbasis propinsi, namun ada juga yang dalam satu propinsi memiliki dua PW, yakni PW PII Maluku serta PW PII Maluku Utara dan Halmahera Tengah. Demikian juga batas teritorial PW kadang berbeda dengan batas teritorial propinsi. Misalnya PW PII Yogyakarta Besar meliputi DIY dan eks-Karesidenan Kedu dan eks-Karesidenan Banyumas (Jawa Tengah). Sedangkan PW PII Jakarta, selain DKI juga ditambah eks Karesidenan Purwakarta.
Sebagai institusi kepengurusan yang tertinggi adalah Pengurus Besar (PB) yang berkedudukan di Jakarta. Di samping kepengurusan badan induk, PII juga memiliki 2 badan otonom: Brigade PII dan Korps PII Wati. Brigade PII dibentuk pada 6 Nopember 1947, pada masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan RI. Tujuannya untuk menyalurkan bakat kemiliteran anggota-anggota PII. Pembentukannya dilatarbelakangi partisipasi PII dalam melawan Agresi Militer I Belanda, 27 Juli 1946, tidak berapa lama setelah Kongres I PII. Pada masa sekarang Brigade PII difungsikan sebagai badan inteljen PII untuk memberikan masukan-masukan bagi program-program yang disusun PII di semua institusi. Korps PII Wati dibentuk pada tanggal 31 Juli 1964, dalam forum Muktamar X PII di Malang. Dilatarbelakangi adanya krisis
kader putri di PII, sehingga diharapkan Korps PII Wati bisa melakukan akselerasi proses pembinaan kader-kader putri PII yang umumnya masa aktifnya lebih sebentar dibanding kader-kader putra.
Pembinaan Anggota dan Proses Kaderisasi
PROSES pembinaan anggota kaderisasi pada masa-masa awal PII berdiri dila-kukan di pesantren atau madrasah dan sekolah. Pesantren pertama yang dijadikan tempat kegiatan kaderisasi adalah Pondok Modern Gontor. Di pesantren tersebut pada masa-masa itu, PII menjadi organisasi resmi para santri. Kegiatan kaderisasi yang dilakukan di pesantren berupa kursus-kursus, seperti kursus politik, manaje-men organisasi dan kepemimpinan. Sedangkan di sekolah umum kegiatannya beru-pa kursus-kursus agama Islam. Karena saat itu di sekolah umum tidak ada pendi-dikan agama.
Latihan kader PII pertama kali diadakan pada tahun 1952 dengan mengun-dang beberapa tokoh untuk memberikan ceramah. Proses kaderisasi yang dilaksa-nakan secara sistematis baru dimulai pada periode 1956-1958 ketika PB PII dipimpin Wartomo Dwijoyuwono. Ia mengadopsi pola kaderisasi pada organisasi yang di-lihatnya di Amerika sewaktu mengikuti program Youth Specialist. PB PII mengikuti kegiatan tersebut atas undangan Departemen Luar negeri Amerika Serikat.
Pada tahun 1957 diadakan seminar tentang kaderisasi dan tahun 1958 diter-bitkan Buku Sistem Latihan Kepemimpinan Dalam PII yang lebih banyak diintrodusir dari Aloka Training dan training-training luar negeri lainnya. Pada tahun 1961 mulai dikembangkan metode Group Dynamics (dinamika kelompok) di PII. Dasar teori tentang group dynamics tersebut masuk ke PII melalui training-training yang diikuti kader-kader PII pada tahun 50-an yang diselenggarakan dalam rangka Colombo Plan. Selanjutnya para intelektual PII seperti Mukti Ali (pernah menjadi Menteri Agama), Hariry Hadi dan lain-lain mengembangkannya dengan menciptakan “Leadership Training”, "Mental Training”, dan "Student Work Camp”.
Pada tahun 1962-1964 ketika PB PII dipimpin Ketua Umum Ahmad Djuwaeni, dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan training. Evaluasi tersebut memberikan penilaian training yang sudah diselenggarakan ternyata baru melahirkan pemimpin-pemimpin yang pandai memimpin rapat, pandai berpidato, dan pandai berdiskusi, tetapi ruh Islam, dan ruh jihad kurang berkembang. Sebagai tindak lanjutnya, dibentuklan suatu tim untuk memperbaiki materi training. Metode yang digunakan tetap dinamika kelompok, tetapi materi-materi, case diskusinya diarahkan pada penanaman aqidah, akhlak, idealisme, dan ruh jihad. Departemen Kader, Departemen Pendidikan dan Departemen Sosial, masing-masing menyelenggarakan Lokakarya Training, untuk “menyempurnakan” atau mengadopsi training dengan dasar “group dynamics” dari Kurt Lewin. M. Husni Thamrin dan Hidayat Kusdiman (Departemen Kader) mengembangkan “Decision Group Dynamics”, menjadi Latihan Kader Kepemimpinan dalam Lokakarya Kepe-mimpinan di Yogyakarta. Endang Syaifuddin Anshari dan Utomo Dananjaya (Departemen Pendidikan) mengembangkan Mental Training sebagai “Reference Group Dy-namics” dalam Lokakarya di Leles, Garut, Jawa Barat. Syarifudin Siregar Pahu dan Endang Toharudin (Departemen Sosial) mengembangkan Perkampungan Kerja Pelajar, sebagai adaptasi dari Student Work Camp, yang merupakan perwujudan dari “Task Group Dynamics”, dalam Lokakarya di Rancaekek, Bandung. Mungkin ini adalah masa berkembangnya kecendekiawanan di PII, yaitu melakukan pendekatan intelektual dalam rangka merumuskan program training yang masih mengacu pada teori ilmiah, psikologi, dan sosiologi.
Training-training tersebut merupakan upaya demokratisasi dan bersamaan dengan merosotnya demokrasi liberal dan menonjolnya "ancaman" ideologi, sejak tahun 1966, cara training demokratisasi di PII berubah menjadi indoktrinasi ideo-logi. Musyawarah Kader dan Coaching Instruktur (MUKACI), 20-26 Agustus 1967 di Pekalongan membersitkan kekhawatiran bahwa training-training PII terancam oleh kecenderungan "indoktrinasi" dan "dominasi" pelatih, ketimbang mengembangkan daya nalar, demokratisasi, tauhid, pembebasan, persamaan dan persaudaraan. Sehingga MUKACI mengupayakan untuk "membuat proses kegiatan belajar menjadi menyenangkan sekali" dengan membangun suasana "fun" dalam pelaksanaan training agar tetap tumbuh semangat demokrasinya.
Pembenahan proses kaderisasi PII terus berlanjut. Pada tanggal 1-6 April 1979 diadakan Pekan Orientasi Instruktur (POIN) di Cibubur, Jakarta. Kegiatan menghasilkan konsep-konsep untuk mensistematisir pemahaman training PII. Se-lanjutnya pada tanggal 17-21 Pebruari 1985 diselenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional di Bandar Lampung yang menghasilkan buku Panduan Training yang materi-materinya sudah diperbaharui lagi, meliputi Basic Training, Panduan Mental Training, Panduan Perkampungan Kerja Pelajar (PKP), dan Panduan Advanced Training. Selain buku panduan training, juga ditetapkan program kaderisasi yang disebut “Sebelas Bintang, Satu Matahari, plus Rembulan”. Program sebelas bintang terdiri dari “Training Alternatif” yang meliputi Studi Islam Awal Mula (SIAM) I, II, III, Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran (BKK) I, II, III, Latihan Hubungan Antar Manusia (LABUNSIA) I, II, III, dan Training Konvensional yang meliputi Leadership Basic Training (LBT), Mental Training, dan Perkampungan Kerja Pelajar (PKP). Program satu matahari adalah Leadership Advanced Training (LAT). Sedangkan program satu rembulan akan menyusul kemudian (karena rembulan hanya memantulkan sinar matahari).
Pelaksanaan “Training Konvensional” dikoordinasi oleh kepengurusan tingkat wilayah dan bisanya diadakan pada saat liburan sekolah, kecuali jika sasaran pe-serta adalah mahasiswa, seperti untuk jenjang LAT. Sementara “Training Alternatif” diselenggarakan oleh kepengurusan tingkat daerah untuk menjaring calon anggota dan calon peserta “Training Konvensional”.
Pada kepengurusan PB PII periode 1989-1992 mulai digulirkan Konsep Ta'dib untuk menjadi Sistem Kaderisasi PII. Namun bagaimana penjabarannya, sampai berakhirnya periode kepngurusan tersebut belum terwujud. Setelah cukup lama dilakukan pembahasan secara informal akhirnya Konsep Ta'dib dibicarakan dan disempurnakan dalam forum Pekan Orientasi Takdib nasional (PORTANAS) pada tanggal 1-3 Maret 1997 di GOR Jati Diri Semarang. Melalui forum ini Konsep Ta’dib secara resmi dijadikan sebagai Sistem Kaderisasi PII yang meliputi Training, Ta’lim, dan Kursus. Hasil ini kemudian disahkan dalam Muktamar Nasional XXI PII pada tanggal 24-30 Mei 1999 di Jakarta.
Terakhir Sistem Kaderisasi PII dibahas dalam Lokakarya Instruktur Nasional (LIN), 20-26 Nopember 1998 di Udiklat PLN Pandaan, Pasuruan. Dalam forum ini ditetapkan Konsep Ta’dib sebagai Sistem Kaderisasi PII yang di dalamnya juga mencakup Pola Kaderisasi di badan otonom, yakni Pola Kaderisasi Brigade PII dan Pola Kaderisasi Korps PII Wati (Informasi lebih detil tentang Sistem Kaderisasi PII (Ta’dib), bisa dilihat dalam bagian lain).
Lambang PII
Ketika mengadakan pertemuan untuk mendirikan organisasi PII, Yoesdi Ghozali juga sudah menyiapkan lambang PII sekaligus dengan maknanya, yaitu : - Warna Hijau (warna gambar), menunjukkan bahwa PII dalam mencapai cita-citanya menjadikan Islam sebagai lambang perdamaian. - Warna Biru (warna isi segitiga), melambangkan kesetiaan PII pada cita-cita-nya. - Warna Merah Putih (warna pita), menunjukkan lambang kebangsaan Indone-sia. - Bulan Bintang, menunjukkan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang diperju-angkan PII. - Kubah yang tinggi membubung dengan lengkungan yang membusung, melambangkan keagungan dan kebesaran Islam. - Bangunan, memberi makna bahwa PII mendirikan organisasi di atas landasan bangunan yang kokoh dan kuat. - Teratak tangga, menunjukkan bahwa PII dalam mencapai cita-citanya menyu-sun organisasi yang teratur rapi dalam melaksanakan perjuangan yang sistema-tis. - Jumlah Bangunan (4) dan Teratak Tangga (7), menunjukkan tahun '47 (1947) saat berdirinya PII. - Alas Segi Lima, berarti bahwa PII senantiasa mengajak anggotanya untuk me-nuntut ilmu pengetahuan yang bermanfaat. - Buku dan Pena, memberi makna bahwa PII senantiasa mengajak anggotanya untuk menuntut ilmu pengetahuan yang bermanfaat. - Segi Tiga, menunjukkan bahwa segala usaha yang dilakukan oleh PII memiliki tujuan yang satu, yaitu mengabdi kepada Allah SWT untuk mendapat ridha-Nya.
Kiprah PII
PII MERUPAKAN gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah sehingga se-nantiasa memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ketiga bidang tersebut. Bentuk dari perhatian tersebut tentu saja berbeda dari wak-tu ke waktu, periode ke periode. Situasi dan kondisi ikut mempengaruhi respon PII terhadap masalah yang melingkupi ketiga bidang tersebut.
Pengembangan Budaya
PERHATIAN PII terhadap seni ditunjukkan dengan banyaknya lagu-lagu yang dimiliki PII. Selain itu, mulai Kongres VII PII acara tersebut selalu diikuti dengan kegiatan Porseni (Pekan Olah raga dan Seni). Demikian pula penyelenggaraan Konferensi-konferensi di tingkat wilayah dan daerah. Yang cukup meriah dalam Porseni IV bersamaan dengan Muktamar Nasional X PII di Malang pada tahun 1964. Juara umum Porseni direbut kontingen PII Jawa Tengah yang mengirim kontingen tangguh dengan personalia antara lain GM. Sudharta (karikaturis), Arifin C. Noer (alm, sutradara), Dedy Sutomo (aktor), Budiman S. Hartojo, Nurul Aini, dan lain-lain.
Pada masa perlawanan terhadap rezim orde lama, PII memang banyak me-nampung pada seniman khususnya mereka yang ikut menjadi penandatangan Manikebu. Seperti Taufiq Ismail yang baru dipecat dari HMI karena ikut menandatangani Manikebu justru diundang hadir pada Konferensi Besar VIII PII tahun 1965 di Yogyakarta bersama Bur Rasuanto. Selain itu PB PII juga menerbitkan kumpulan puisi Taufiq Ismail, "Tirani dan Benteng". Kepedulian PII terhadap pengembangan seni budaya juga diwujudkan dengan pengembangan seni teater. Di beberapa tempat muncul Teater "Empat Mei" yang berkembang dengan baik. Perhatian terhadap masalah seni budaya juga diwujudkan melalui protes PII atas munculnya "adegan kurang pantas" yang diperankan mendiang aktor S. Bono dalam film yang beredar tahun 1960-an.
Namun seiring dengan menguatnya "nafas politik" dalam gerakan PII, perhatian terhadap masalah seni budaya mulai menyurut. Sehingga banyak bakat-bakat seni para aktifis PII yang terbengkalai. Ketika berlangsung Muktamar Nasional XXI PII mulai dicoba lagi pementasan seni untuk memeriahkan kegiatan. Delegasi Jawa Barat melalui Teater Cob-cob Gerage yang diawaki para aktifis PII Cirebon, menampilkan kisah "Tapak-tapak PII di pentas Perjuangan Bangsa".
Mengingat PII sebagai sebuah gerakan pendidikan, kebudayaan dan dakwah, maka perhatian PII terhadap seni budaya memang masih perlu ditingkatkan lagi. Beberapa kali kesempatan forum-forum nasional, Peringatan Hari Bangkit, dan sebagainya; apresiasi terhadap seni dan budaya ini telah mulai ditempatkan kembali pada proporsinya. Tak heran jika di berbagai tempat yang menjadi basis gerakan PII, terdapat kelompok-kelompok seni dan budaya yang dimotori oleh para pelajar dan kader-kader PII yang mempunyai minat, bakat dan kepedulian dalam bidang seni dan budaya. Di Wilayah Jakarta, misalnya, PD PII Jakarta Pusat mempunyai Kelompok Nasyid. PD PII Jakarta Utara, memiliki Kelompok Teater Lenong Bocah, yang kerap melakukan pementasan pada acara-acara seremonial PII maupun lomba-lomba. Di komunitas Menteng Raya 58, tempat sekretariat PB PII dan PII Wilayah Jakarta berdiam, terdapat Kelompok Musik “Jiwa Merdeka” yang kerap melantunkan musikalisasi puisi dalam setiap pementasannya. Singkatnya, apresiasi terhadap bidang seni dan budaya ini telah mulai menemukan bentuknya, diilhami bahwa seni dan budaya dapat dijadikan sarana dakwah mensiarkan ajaran Islam dengan sangat estetis.
Pembinaan Masyarakat Pelajar
IKHTIAR untuk membina masyarakat pelajar sudah dimulai sejak 1950-an, de-ngan merintis yayasan-yayasan yang bersifat kesejahteraan bagi para pelajar. Misalnya PII berpartisipasi dalam pendirian Yayasan Asrama Masjid Syuhada (YASMA) di Yogyakarta, Yayasan Asrama Pelajar Islam yang mengelola Asrama Pelajar dan Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati (di Jalan Bunga) dan Asrama Mahasiswa dan Pelajar Islam Sunan Giri (di daerah Rawamangun) di Jakarta. Sampai kini kedua asrama tersebut masih berfungsi dengan baik sebagai tempat pembinaan kader, meski tidak langsung ditangani oleh PII.
Di Yogyakarta pernah juga didirikan Yayasan Bea Siswa Pelajar Islam oleh Cha-mim Prawira dan Amir Hamzah Wiryosukarto pada tahun 1957/1958. Kemudian ada juga Yayasan Bintang Pelajar yang antara lain menangani pengiriman pelajar SLTA ke luar negeri melalui AFS (American Field Service). Lembaga ini dirintis oleh PII dan di-pimpin secara bergilir oleh mantan aktifis PII seperti Wartomo, Hariry Hadi, M. Harjadi, Taufik Ismail, Arif Rahman, Aida Jusuf Ahmad dan Yati Sofiati Mukadi.
Setelah sempat surut, seiring dengan surutnya aktifitas PII, sekarang PII tengah menghidupkan kembali aktifitas pembinaan pelajar. Saat ini ada tiga sayap yang di-gunakan PII untuk berhubungan dengan pembinaan masyarakat pelajar. Pertama, Komite Peduli Pelajar Pelajar Islam Indonesia (KPP-PII). Komite ini lahir ketika banyak pelajar yang terpaksa putus sekolah atau terancam putus sekolah, akibat kri-sis ekonomi yang cukup panjang di Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah menya-lurkan bea siswa bagi pelajar tingkat SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA. Di samping itu juga mengadakan kegiatan-kegiatan penunjang seperti Pesantren Kilat Pelajar di masa liburan dan advokasi pelajar. Kedua, Crisis Centre fo Students (CCS).
Pelaksanaan kampanye dalam Pemilu 1999 yang banyak melibatkan pelajar, yang di antaranya sebenarnya belum memiliki hak pilih mendorong lahirnya CCS. Apalagi perkembangan menunjukkan para pelajar kadang menjadi korban dalam insiden-insiden selama kampanye. Untuk itu maka CCS berupaya menggalakkan kampanye agar pelajar tidak menjadi komoditas politik semata, tapi justru para politisi semestinya memiliki perhatian serius kepada para pelajar, sebagai aset masa depan bangsa. Ketiga, Kesatuan Aksi Pelajar Islam Indonesia (KA-PII). Diilhami pembentukan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), PII kemudian membentuk KA-PII untuk mengantisipasi perkembangan situasi politik pasca runtuhnya Orde Baru, yang ditandai dengan banyaknya peristiwa kekerasan politik. Melalui KA-PII, hendak disuarakan aspirasi politik pelajar secara damai. Misalnya agar para politisi dalam suasana krisis ekonomi tidak hanya berebut kursi saja, tapi juga memperhatikan masalah pendidikan, serta persoalan penyelesaian kerusuhan di Ambon yang harus dilakukan sesegera mungkin, karena telah menyebabkan terlantarnya kegiatan belajar mengajar di sana, demikian juga persoalan Aceh yang terus berlarut-larut.
Belakangan, di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, aksi ‘turun jalan’ PII melalui sayap KA-PII tersebut, semakin sering dilakukan seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat reformasi. Beberapa kebijakan pemerintah soal pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang Komunisme, kebijakan luar negeri yang pro zionis-kapitalis dan mengabaikan solidaritas terhadap negara-negara muslim – terutama didalamnya persoalan Palestina, kenaikan tarif angkutan umum, sistem pendidikan (kurikulum, penunggalan pembinaan lewat OSIS), anggaran pendidikan yang sangat rendah dan sebagainya, menjadi persoalan yang disikapi secara kritis oleh aktivis PII melalui jaringan akspansi KA-PII. Jaringan aksi KA-PII mengoptimalkan partisipasi massa pelajar melalui simpul-simpul massa PII yang berada di berbagai lokasi atau basis sekolah dan pondok pesantren di Jabotabek. Dengan demikian, pendidikan politik terhadap pelajar telah dilakukan sedari dini melalui penyaluran aspirasi kritis mereka kepada pihak-pihak yang berwenang, terkait dengan berbagai isu/persoalan yang tengah terjadi di masyarakat.
Pada tanggal 6 Nopember 1999 bersamaan dengan Peringatan Hari Lahir Briga-de PII (Harla Brigade PII) ke-52 diresmikan pembentukan Perguruan Silat Beladiri Pelajar Islam Indonesia (PSBD-PII) untuk melatih ketahanan fisik ketrampilan bela diri para pelajar pada umumnya dan anggota PII pada khususnya. Dalam pengembangan selanjutnya PSBD-PII berada di bawah koordinasi Koordinator Pusat Brigade Pelajar Islam Indonesia (Korpus Brigade PII).
Hubungan Internasional
SEGERA setelah berdiri, PII juga membuka perwakilan luar negeri. Mereka yang pernah menjadi perwakilan PII di luar negeri adalah Hasan Muhammad (Ame-rika Serikat), S. Arifin (Swiss), Shawabi (Mesir), Mukti Ali (Pakistan), Ilyas Ismed (Filipina), dan Emzita (Irak).
Selain itu PII juga merintis program AFS (American Fields Service) di Indonesia memulai tahun 1956 dengan pengiriman tujuh orang pelajar ke Amerika Serikat. Termasuk dalam rombongan pertama ini adalah penyair Taufiq Ismail dan Z.A. Maulani. Mereka yang pernah mengikuti program ini antara lain Tanri Abeng (Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN Kabinet Habibie) dan Arief Rahman (Kepala SMU Lab School). Selain itu ada juga peserta non PII, yaitu Ariel Haryanto (mantan dosen UKSW Salatiga). Pada masa pemerintahan orde lama program ini sempat dilarang oleh Waperdam Subandrio. Sekarang program ini dilanjutkan oleh Yayasan Bina Antar Budaya.
Pasang surut PII di tanah air juga mempengaruhi PII di percaturan internasi-onal. Kiprah PII di forum internasional menyurut. Baru mulai ada peningkatan aktif-itas di luar negeri pada permulaan 1990-an. Pada tahun 1990, PII ikut membidani berdirinya Persekutuan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT) yang berkedudukan di Malaysia. Dan saat ini, mengingat situasi Malaysia yang secara politis belum stabil, maka PII hendak mengupayakan agar kedudukan PEPIAT bisa dipindahkan ke Indonesia. Selain itu PII juga ikut berpartisipasi dalam Regional Islamic Da'wah of South East Asia And Pacific (RISEAP) dan International Islamic Federation of Students Organization (IIFSO). Bahkan pada kongres IIFSO di Istambul, 1996, Ketua Umum PB PII periode 1995-1998 A. Hakam Naja, terpilih sebagai Financial Secretary.
Sekarang PII juga mulai merintis lagi pembukaan perwakilan luar negeri, dimulai dari Malaysia, Mesir, Australia, dan Yordania. Melalui pengurus perwakilan luar negeri ini PII mengusahakan beasiswa bagi anggotanya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Yang sudah berjalan adalah di International Islamic University (IIU) Malaysia dan Al-Azhar University di Kairo, Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar