Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pelajar_Islam_Indonesia
PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) didirikan di
kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah
Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.
Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII
adalah dualism sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang
merupakan warisan kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah
umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren
berorientasi ke akhirat sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya
pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling
menjatuhkan. Santri pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem
pendidikan orang kafir karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para
santri menjuluki pelajar sekolah umum de-ngan "pelajar kafir".
Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pesantren kolot dan
tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau
santri “teklekan".
Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi
pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut
dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi
kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang
beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya,
gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat
mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan terse-but kemudian disampaikan
dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta.
Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur
Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian
sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.
Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan
Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30
Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan
tersebut, maka kongres kemudi-an memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk
bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres
GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya
organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.
Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4
Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta.
Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri
mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang
akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta
(PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah
(PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar
Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu
kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat
pada pukul 10.00, 4 Mei 1947.
Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka
setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini
karena hari itu dianggap sebagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya
sudah terakumulasi, sehingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang
tahun.
Tujuan
PADA mulanya tujuan PII adalah,
"Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh anggotanya."
Dalam Kongres I PII, 14-16 Juli 1947 di Solo tujuan tersebut diperluas menjadi
"Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang sesuai dengan Islam bagi
Republik Indonesia." Akhirnya tujuan tersebut semakin universal dengan
perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di Palembang menjadi
"Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi
segenap rakyat Indonesia dan umat manusia." Rumusan tujuan PII hasil
Kongres VII tersebut yang digunakan sampai sekarang ini sebagaimana tercantum
dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4.
Tugas Pokok, Fungsi dan Usaha
Pelajar Islam Indonesia mempunyai tugas pokok
melaksanakan pelatihan, taklim dan kursus bagi para pelajar Islam guna
menumbuhkan kader umat dan kader bangsa yang berkepribadian muslim, cendekia
dan memiliki jiwa kepemimpinan (AD Bab V Pasal 5). Sementara itu, organisasi
ini berfungsi sebagai wadah pembinaan kepribadian muslim, penghantar sukses
studi, sarana berlatih dan alat perjuangan bagi pelajar Islam (AD Pasal 6).
Untuk mewujudkan tujuannya, PII bergerak secara
independen di bidang pen-didikan, kebudayaan dan dakwah. Adapun usaha yang
dilakukan PII –sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah : 1. Mendidik
anggotanya untuk menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.
2. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, ketrampilan,
minat dan bakat anggo-tanya.
3. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan
memelihara jiwa independen/mandiri dan kesanggupan berdiri sendiri tanpa
ketergantungan kepada orang lain.
4. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi
keilmuan serta kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi anggotanya.
5. Membina anggota menjadi pribadi-pribadi yang
tangguh dan cakap dalam mengelola arus informasi global dunia serta menangkal
dampak negatif produk-produk budaya asing dan arus informasi global tersebut.
6. Membantu dalam pemenuhan minat dan kebutuhan
serta mengatasi problematika pelajar.
7. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk
kepentingan Islam dan umat Islam, serta umat manusia pada umumnya.
8. Menumbuhkembangkan semangat dan kemampuan
anggota untuk menguasai, memanfaatkan serta mengikuti perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan umat manusia.
9. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
anggota untuk memahami, mengkaji, mengapresiasi dan melaksanakan ajaran serta
tuntunan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
10. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki
pandangan hidup Islami, kelu-asan pandangan dunia global dan kepribadian muslim
dalam segala bidang kehidupan.
Keanggotaan
PADA awal berdirinya PII, muncul reaksi dari IPI
yang menilai kehadiran PII bisa menimbulkan perpecahan di kalangan pelajar.
Untuk menghindari terjadinya konflik, diadakanlah pertemuan PII dengan IPI pada
tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Dalam
pertemuan tersebut kemudian ditandatangani Piagam Malioboro oleh Sekjen PB IPI
Busono Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasji. Salah satu butir penting dari
piagam tersebut adalah hak hidup PII oleh IPI. Sebagai tindak lanjut dari
penandatanganan piagam tersebut maka dimana ada IPI akan didirikan PII. Saat
itu IPI sudah ada di hampir seluruh wilayah Indonesia yanga da sekolah
menengahnya. Para pelajar Islam yang menjadi anggota IPI pun ikut membantu
berdirinya PII. Sebaliknya PII bersedia bekerja sama dengan IPI dalam masalah
yang bisa dikerjakan bersama dan bersifat nasional. Dalam perjalanan
selanjutnya perkembangan PII ternyata jauh lebih pesat dari IPI. Hal itu
ditunjang dengan bergabungnya organisasi-organisasi pelajar Islam lokal ke
tubuh PII. Selain PPII (Yogyakarta), PPIS dan PERKISEM (Surakarta) yang ikut
mendirikan PII, pada saat penyelenggaraan Kongres I PII, 14-16 Juli di Solo,
Persa-tuan Pelajar Islam Indonesia (PERPINDO) dari Aceh juga memfusikan diri ke
dalam tubuh PII. Perkembangan anggota semakin pesat pada tahun 1960-an setelah
Masyumi (1960) dan GPII (1963) dibubarkan oleh pemerintah. Hal itu mendorong
PII mem-buat penafsiran sendiri terhadap kata pelajar. Kalau sebelumnya pelajar
adalah mereka yang di pesantren dan sekolah, kemudian diperluas menjadi minal
mahdi ilal lahdi (dari ayunan sampai ke liang lahat), sesuai dengan hadits nabi
tentang perintah mencari ilmu. Sehingga PII juga menjadi penampung aspirasi
mantan-mantan anggota Masyumi dan GPII.
Jumlah anggota PII mulai menyusut di tahun
1980-an seiring dengan mengu-atnya nuansa politis dalam aktifitas PII,
sementara pemerintah saat itu justru ber-kesan tengah mendepolitisir umat
Islam. Puncak dari penyusutan itu adalah ketika PII tidak mau menyesuaikan diri
dengan UU Keormasan yang disahkan 17 Juni 1985 dan mulai diberlakukan 17 Juni
1987. Akibatnya kemudian Mendagri mengeluarkan SK Mendagri No. 120/1987
tertanggal 10 Desember 1987 yang menganggap PII telah membubarkan diri dan
selanjutnya melarang kegiatan yang mengatasnamakan PII. Ketika SK itu keluar, menurut
Ketua Umum PB PII saat itu Chalidin Yacobs, jumlah anggota PII mencapai 4 juta
orang. Namun delapan tahun kemudian, 1995, jumlah anggota PII aktif sepertinya
tidak mencapai 100.000 orang.
Meski demikian, PII tidak pernah mati. Sadar
penyusutan anggota tidak bisa dibiarkan begitu saja, maka ihtiar untuk bangkit
kembali pun dicanangkan. Momentumnya adalah pada Muktamar Nasional XX PII tahun
1995 di Cisalopa, Bogor. Setelah melalui perdebatan sengit, diputuskan PII akan
melakukan reformalisasi dengan melakukan registrasi ke Depdagri. Sejak itu
jumlah anggota PII kembali terdongkrak. Hanya karena sistem administrasi yang
belum rapi sesuai standard administrasi sebuah organisasi formal, jumlah secara
pasti seluruh anggota PII belum bisa diketahui.
Untuk penataan kembali administrasi keanggotaan
PII, maka ditentukan per-syaratan keanggotaan di PII yang meliputi anggota
tunas, anggota muda, anggota biasa, anggota luar biasa dan anggota kehormatan.
Anggota tunas, mereka yang duduk dijenjang pendidikan dasar (SD/MI), anggota
muda, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah pertama (SLTP/MTs),
anggota biasa, mereka yang duduk di jenjang pendidikan menengah atas
(SMU/SMK/MA), anggota luar biasa warga negara asing yang sedang belajar di
Indonesia atau sebaliknya, dan anggota kehormatan adalah mereka yang memiliki
jasa terhadap PII. Masa keanggotaan PII akan berakhir secara otomatis, bila
yang bersangkutan telah dua tahun menyelesaikan pendidikan formalnya.
Kepengurusan
KEPENGURUSAN PII terdiri dari empat jenjang
institusi. Yang terendah Pengu-rus Komisariat (PK), berbasis kecamatan, sekolah
atau lembaga pendidikan lainnya. Untuk membentuk Pengurus Komisariat, minimal
memiliki 25 orang anggota. Peng-urus Daerah (PD) sebagai institusi kepengurusan
berikutnya, selain berbasis kabu-paten/kotamadya juga bisa berbasis pesantren
atau perguruan tinggi. Dalam satu kabupaten/kotamadya, jika dipandang perlu
bisa juga dibentuk lebih dari satu PD, dengan syarat masing-masing memiliki
mini-mal 100 anggota. Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah misalnya, selain ada PD
PII Brebes juga ada PD PII Bumiayu (salah satu Kawedanan di Brebes). Pengurus
Wilayah (PW) berbasis propinsi, namun ada juga yang dalam satu propinsi
memiliki dua PW, yakni PW PII Maluku serta PW PII Maluku Utara dan Halmahera
Tengah. Demikian juga batas teritorial PW kadang berbeda dengan batas
teritorial propinsi. Misalnya PW PII Yogyakarta Besar meliputi DIY dan
eks-Karesidenan Kedu dan eks-Karesidenan Banyumas (Jawa Tengah). Sedangkan PW
PII Jakarta, selain DKI juga ditambah eks Karesidenan Purwakarta.
Sebagai institusi kepengurusan yang tertinggi
adalah Pengurus Besar (PB) yang berkedudukan di Jakarta. Di samping
kepengurusan badan induk, PII juga memiliki 2 badan otonom: Brigade PII dan
Korps PII Wati. Brigade PII dibentuk pada 6 Nopember 1947, pada masa revolusi
fisik mempertahankan kemerdekaan RI. Tujuannya untuk menyalurkan bakat
kemiliteran anggota-anggota PII. Pembentukannya dilatarbelakangi partisipasi
PII dalam melawan Agresi Militer I Belanda, 27 Juli 1946, tidak berapa lama
setelah Kongres I PII. Pada masa sekarang Brigade PII difungsikan sebagai badan
inteljen PII untuk memberikan masukan-masukan bagi program-program yang disusun
PII di semua institusi. Korps PII Wati dibentuk pada tanggal 31 Juli 1964, dalam
forum Muktamar X PII di Malang. Dilatarbelakangi adanya krisis
kader putri di PII, sehingga diharapkan Korps PII
Wati bisa melakukan akselerasi proses pembinaan kader-kader putri PII yang
umumnya masa aktifnya lebih sebentar dibanding kader-kader putra.
Pembinaan Anggota dan Proses Kaderisasi
PROSES pembinaan anggota kaderisasi pada
masa-masa awal PII berdiri dila-kukan di pesantren atau madrasah dan sekolah.
Pesantren pertama yang dijadikan tempat kegiatan kaderisasi adalah Pondok
Modern Gontor. Di pesantren tersebut pada masa-masa itu, PII menjadi organisasi
resmi para santri. Kegiatan kaderisasi yang dilakukan di pesantren berupa
kursus-kursus, seperti kursus politik, manaje-men organisasi dan kepemimpinan.
Sedangkan di sekolah umum kegiatannya beru-pa kursus-kursus agama Islam. Karena
saat itu di sekolah umum tidak ada pendi-dikan agama.
Latihan kader PII pertama kali diadakan pada
tahun 1952 dengan mengun-dang beberapa tokoh untuk memberikan ceramah. Proses
kaderisasi yang dilaksa-nakan secara sistematis baru dimulai pada periode
1956-1958 ketika PB PII dipimpin Wartomo Dwijoyuwono. Ia mengadopsi pola
kaderisasi pada organisasi yang di-lihatnya di Amerika sewaktu mengikuti
program Youth Specialist. PB PII mengikuti kegiatan tersebut atas undangan
Departemen Luar negeri Amerika Serikat.
Pada tahun 1957 diadakan seminar tentang
kaderisasi dan tahun 1958 diter-bitkan Buku Sistem Latihan Kepemimpinan Dalam
PII yang lebih banyak diintrodusir dari Aloka Training dan training-training
luar negeri lainnya. Pada tahun 1961 mulai dikembangkan metode Group Dynamics
(dinamika kelompok) di PII. Dasar teori tentang group dynamics tersebut masuk
ke PII melalui training-training yang diikuti kader-kader PII pada tahun 50-an
yang diselenggarakan dalam rangka Colombo Plan. Selanjutnya para intelektual
PII seperti Mukti Ali (pernah menjadi Menteri Agama), Hariry Hadi dan lain-lain
mengembangkannya dengan menciptakan “Leadership Training”, "Mental
Training”, dan "Student Work Camp”.
Pada tahun 1962-1964 ketika PB PII dipimpin Ketua
Umum Ahmad Djuwaeni, dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan training. Evaluasi
tersebut memberikan penilaian training yang sudah diselenggarakan ternyata baru
melahirkan pemimpin-pemimpin yang pandai memimpin rapat, pandai berpidato, dan
pandai berdiskusi, tetapi ruh Islam, dan ruh jihad kurang berkembang. Sebagai
tindak lanjutnya, dibentuklan suatu tim untuk memperbaiki materi training.
Metode yang digunakan tetap dinamika kelompok, tetapi materi-materi, case
diskusinya diarahkan pada penanaman aqidah, akhlak, idealisme, dan ruh jihad.
Departemen Kader, Departemen Pendidikan dan Departemen Sosial, masing-masing
menyelenggarakan Lokakarya Training, untuk “menyempurnakan” atau mengadopsi
training dengan dasar “group dynamics” dari Kurt Lewin. M. Husni Thamrin dan
Hidayat Kusdiman (Departemen Kader) mengembangkan “Decision Group Dynamics”,
menjadi Latihan Kader Kepemimpinan dalam Lokakarya Kepe-mimpinan di Yogyakarta.
Endang Syaifuddin Anshari dan Utomo Dananjaya (Departemen Pendidikan)
mengembangkan Mental Training sebagai “Reference Group Dy-namics” dalam
Lokakarya di Leles, Garut, Jawa Barat. Syarifudin Siregar Pahu dan Endang
Toharudin (Departemen Sosial) mengembangkan Perkampungan Kerja Pelajar, sebagai
adaptasi dari Student Work Camp, yang merupakan perwujudan dari “Task Group
Dynamics”, dalam Lokakarya di Rancaekek, Bandung. Mungkin ini adalah masa
berkembangnya kecendekiawanan di PII, yaitu melakukan pendekatan intelektual
dalam rangka merumuskan program training yang masih mengacu pada teori ilmiah,
psikologi, dan sosiologi.
Training-training tersebut merupakan upaya
demokratisasi dan bersamaan dengan merosotnya demokrasi liberal dan menonjolnya
"ancaman" ideologi, sejak tahun 1966, cara training demokratisasi di
PII berubah menjadi indoktrinasi ideo-logi. Musyawarah Kader dan Coaching
Instruktur (MUKACI), 20-26 Agustus 1967 di Pekalongan membersitkan kekhawatiran
bahwa training-training PII terancam oleh kecenderungan
"indoktrinasi" dan "dominasi" pelatih, ketimbang
mengembangkan daya nalar, demokratisasi, tauhid, pembebasan, persamaan dan
persaudaraan. Sehingga MUKACI mengupayakan untuk "membuat proses kegiatan
belajar menjadi menyenangkan sekali" dengan membangun suasana "fun"
dalam pelaksanaan training agar tetap tumbuh semangat demokrasinya.
Pembenahan proses kaderisasi PII terus berlanjut.
Pada tanggal 1-6 April 1979 diadakan Pekan Orientasi Instruktur (POIN) di
Cibubur, Jakarta. Kegiatan menghasilkan konsep-konsep untuk mensistematisir
pemahaman training PII. Se-lanjutnya pada tanggal 17-21 Pebruari 1985
diselenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional di Bandar Lampung yang
menghasilkan buku Panduan Training yang materi-materinya sudah diperbaharui
lagi, meliputi Basic Training, Panduan Mental Training, Panduan Perkampungan
Kerja Pelajar (PKP), dan Panduan Advanced Training. Selain buku panduan
training, juga ditetapkan program kaderisasi yang disebut “Sebelas Bintang,
Satu Matahari, plus Rembulan”. Program sebelas bintang terdiri dari “Training
Alternatif” yang meliputi Studi Islam Awal Mula (SIAM) I, II, III, Bimbingan
Keilmuan dan Kepelajaran (BKK) I, II, III, Latihan Hubungan Antar Manusia
(LABUNSIA) I, II, III, dan Training Konvensional yang meliputi Leadership Basic
Training (LBT), Mental Training, dan Perkampungan Kerja Pelajar (PKP). Program
satu matahari adalah Leadership Advanced Training (LAT). Sedangkan program satu
rembulan akan menyusul kemudian (karena rembulan hanya memantulkan sinar
matahari).
Pelaksanaan “Training Konvensional” dikoordinasi
oleh kepengurusan tingkat wilayah dan bisanya diadakan pada saat liburan
sekolah, kecuali jika sasaran pe-serta adalah mahasiswa, seperti untuk jenjang
LAT. Sementara “Training Alternatif” diselenggarakan oleh kepengurusan tingkat
daerah untuk menjaring calon anggota dan calon peserta “Training Konvensional”.
Pada kepengurusan PB PII periode 1989-1992 mulai
digulirkan Konsep Ta'dib untuk menjadi Sistem Kaderisasi PII. Namun bagaimana
penjabarannya, sampai berakhirnya periode kepngurusan tersebut belum terwujud.
Setelah cukup lama dilakukan pembahasan secara informal akhirnya Konsep Ta'dib
dibicarakan dan disempurnakan dalam forum Pekan Orientasi Takdib nasional
(PORTANAS) pada tanggal 1-3 Maret 1997 di GOR Jati Diri Semarang. Melalui forum
ini Konsep Ta’dib secara resmi dijadikan sebagai Sistem Kaderisasi PII yang
meliputi Training, Ta’lim, dan Kursus. Hasil ini kemudian disahkan dalam
Muktamar Nasional XXI PII pada tanggal 24-30 Mei 1999 di Jakarta.
Terakhir Sistem Kaderisasi PII dibahas dalam Lokakarya
Instruktur Nasional (LIN), 20-26 Nopember 1998 di Udiklat PLN Pandaan,
Pasuruan. Dalam forum ini ditetapkan Konsep Ta’dib sebagai Sistem Kaderisasi
PII yang di dalamnya juga mencakup Pola Kaderisasi di badan otonom, yakni Pola
Kaderisasi Brigade PII dan Pola Kaderisasi Korps PII Wati (Informasi lebih
detil tentang Sistem Kaderisasi PII (Ta’dib), bisa dilihat dalam bagian lain).
Lambang PII
Ketika mengadakan pertemuan untuk mendirikan
organisasi PII, Yoesdi Ghozali juga sudah menyiapkan lambang PII sekaligus
dengan maknanya, yaitu : - Warna Hijau (warna gambar), menunjukkan bahwa
PII dalam mencapai cita-citanya menjadikan Islam sebagai lambang perdamaian. -
Warna Biru (warna isi segitiga), melambangkan kesetiaan PII pada cita-cita-nya.
- Warna Merah Putih (warna pita), menunjukkan lambang kebangsaan Indone-sia. -
Bulan Bintang, menunjukkan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang
diperju-angkan PII. - Kubah yang tinggi membubung dengan lengkungan yang
membusung, melambangkan keagungan dan kebesaran Islam. - Bangunan, memberi
makna bahwa PII mendirikan organisasi di atas landasan bangunan yang kokoh dan
kuat. - Teratak tangga, menunjukkan bahwa PII dalam mencapai cita-citanya
menyu-sun organisasi yang teratur rapi dalam melaksanakan perjuangan yang sistema-tis.
- Jumlah Bangunan (4) dan Teratak Tangga (7), menunjukkan tahun '47 (1947) saat
berdirinya PII. - Alas Segi Lima, berarti bahwa PII senantiasa mengajak
anggotanya untuk me-nuntut ilmu pengetahuan yang bermanfaat. - Buku dan Pena,
memberi makna bahwa PII senantiasa mengajak anggotanya untuk menuntut ilmu
pengetahuan yang bermanfaat. - Segi Tiga, menunjukkan bahwa segala usaha yang
dilakukan oleh PII memiliki tujuan yang satu, yaitu mengabdi kepada Allah SWT
untuk mendapat ridha-Nya.
Kiprah PII
PII MERUPAKAN gerakan pendidikan, kebudayaan dan
dakwah sehingga se-nantiasa memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan ketiga bidang tersebut. Bentuk dari perhatian tersebut
tentu saja berbeda dari wak-tu ke waktu, periode ke periode. Situasi dan
kondisi ikut mempengaruhi respon PII terhadap masalah yang melingkupi ketiga
bidang tersebut.
Pengembangan Budaya
PERHATIAN PII terhadap seni ditunjukkan dengan
banyaknya lagu-lagu yang dimiliki PII. Selain itu, mulai Kongres VII PII acara
tersebut selalu diikuti dengan kegiatan Porseni (Pekan Olah raga dan Seni).
Demikian pula penyelenggaraan Konferensi-konferensi di tingkat wilayah dan
daerah. Yang cukup meriah dalam Porseni IV bersamaan dengan Muktamar Nasional X
PII di Malang pada tahun 1964. Juara umum Porseni direbut kontingen PII Jawa
Tengah yang mengirim kontingen tangguh dengan personalia antara lain GM.
Sudharta (karikaturis), Arifin C. Noer (alm, sutradara), Dedy Sutomo (aktor),
Budiman S. Hartojo, Nurul Aini, dan lain-lain.
Pada masa perlawanan terhadap rezim orde lama,
PII memang banyak me-nampung pada seniman khususnya mereka yang ikut menjadi
penandatangan Manikebu. Seperti Taufiq Ismail yang baru dipecat dari HMI karena
ikut menandatangani Manikebu justru diundang hadir pada Konferensi Besar VIII
PII tahun 1965 di Yogyakarta bersama Bur Rasuanto. Selain itu PB PII juga
menerbitkan kumpulan puisi Taufiq Ismail, "Tirani dan Benteng".
Kepedulian PII terhadap pengembangan seni budaya juga diwujudkan dengan
pengembangan seni teater. Di beberapa tempat muncul Teater "Empat
Mei" yang berkembang dengan baik. Perhatian terhadap masalah seni budaya
juga diwujudkan melalui protes PII atas munculnya "adegan kurang
pantas" yang diperankan mendiang aktor S. Bono dalam film yang beredar
tahun 1960-an.
Namun seiring dengan menguatnya "nafas
politik" dalam gerakan PII, perhatian terhadap masalah seni budaya mulai
menyurut. Sehingga banyak bakat-bakat seni para aktifis PII yang terbengkalai.
Ketika berlangsung Muktamar Nasional XXI PII mulai dicoba lagi pementasan seni
untuk memeriahkan kegiatan. Delegasi Jawa Barat melalui Teater Cob-cob Gerage
yang diawaki para aktifis PII Cirebon, menampilkan kisah "Tapak-tapak PII
di pentas Perjuangan Bangsa".
Mengingat PII sebagai sebuah gerakan pendidikan,
kebudayaan dan dakwah, maka perhatian PII terhadap seni budaya memang masih
perlu ditingkatkan lagi. Beberapa kali kesempatan forum-forum nasional,
Peringatan Hari Bangkit, dan sebagainya; apresiasi terhadap seni dan budaya ini
telah mulai ditempatkan kembali pada proporsinya. Tak heran jika di berbagai
tempat yang menjadi basis gerakan PII, terdapat kelompok-kelompok seni dan
budaya yang dimotori oleh para pelajar dan kader-kader PII yang mempunyai
minat, bakat dan kepedulian dalam bidang seni dan budaya. Di Wilayah Jakarta,
misalnya, PD PII Jakarta Pusat mempunyai Kelompok Nasyid. PD PII Jakarta Utara,
memiliki Kelompok Teater Lenong Bocah, yang kerap melakukan pementasan pada
acara-acara seremonial PII maupun lomba-lomba. Di komunitas Menteng Raya 58,
tempat sekretariat PB PII dan PII Wilayah Jakarta berdiam, terdapat Kelompok
Musik “Jiwa Merdeka” yang kerap melantunkan musikalisasi puisi dalam setiap
pementasannya. Singkatnya, apresiasi terhadap bidang seni dan budaya ini telah
mulai menemukan bentuknya, diilhami bahwa seni dan budaya dapat dijadikan
sarana dakwah mensiarkan ajaran Islam dengan sangat estetis.
Pembinaan Masyarakat Pelajar
IKHTIAR untuk membina masyarakat pelajar sudah
dimulai sejak 1950-an, de-ngan merintis yayasan-yayasan yang bersifat kesejahteraan
bagi para pelajar. Misalnya PII berpartisipasi dalam pendirian Yayasan Asrama
Masjid Syuhada (YASMA) di Yogyakarta, Yayasan Asrama Pelajar Islam yang
mengelola Asrama Pelajar dan Mahasiswa Islam Sunan Gunung Jati (di Jalan Bunga)
dan Asrama Mahasiswa dan Pelajar Islam Sunan Giri (di daerah Rawamangun) di
Jakarta. Sampai kini kedua asrama tersebut masih berfungsi dengan baik sebagai
tempat pembinaan kader, meski tidak langsung ditangani oleh PII.
Di Yogyakarta pernah juga didirikan Yayasan Bea
Siswa Pelajar Islam oleh Cha-mim Prawira dan Amir Hamzah Wiryosukarto pada
tahun 1957/1958. Kemudian ada juga Yayasan Bintang Pelajar yang antara lain
menangani pengiriman pelajar SLTA ke luar negeri melalui AFS (American Field
Service). Lembaga ini dirintis oleh PII dan di-pimpin secara bergilir oleh
mantan aktifis PII seperti Wartomo, Hariry Hadi, M. Harjadi, Taufik Ismail,
Arif Rahman, Aida Jusuf Ahmad dan Yati Sofiati Mukadi.
Setelah sempat surut, seiring dengan surutnya
aktifitas PII, sekarang PII tengah menghidupkan kembali aktifitas pembinaan
pelajar. Saat ini ada tiga sayap yang di-gunakan PII untuk berhubungan dengan
pembinaan masyarakat pelajar. Pertama, Komite Peduli Pelajar Pelajar Islam
Indonesia (KPP-PII). Komite ini lahir ketika banyak pelajar yang terpaksa putus
sekolah atau terancam putus sekolah, akibat kri-sis ekonomi yang cukup panjang
di Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah menya-lurkan bea siswa bagi pelajar
tingkat SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/SMK/MA. Di samping itu juga mengadakan
kegiatan-kegiatan penunjang seperti Pesantren Kilat Pelajar di masa liburan dan
advokasi pelajar. Kedua, Crisis Centre fo Students (CCS).
Pelaksanaan kampanye dalam Pemilu 1999 yang
banyak melibatkan pelajar, yang di antaranya sebenarnya belum memiliki hak
pilih mendorong lahirnya CCS. Apalagi perkembangan menunjukkan para pelajar
kadang menjadi korban dalam insiden-insiden selama kampanye. Untuk itu maka CCS
berupaya menggalakkan kampanye agar pelajar tidak menjadi komoditas politik
semata, tapi justru para politisi semestinya memiliki perhatian serius kepada
para pelajar, sebagai aset masa depan bangsa. Ketiga, Kesatuan Aksi Pelajar
Islam Indonesia (KA-PII). Diilhami pembentukan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), PII kemudian membentuk KA-PII untuk mengantisipasi
perkembangan situasi politik pasca runtuhnya Orde Baru, yang ditandai dengan
banyaknya peristiwa kekerasan politik. Melalui KA-PII, hendak disuarakan
aspirasi politik pelajar secara damai. Misalnya agar para politisi dalam
suasana krisis ekonomi tidak hanya berebut kursi saja, tapi juga memperhatikan
masalah pendidikan, serta persoalan penyelesaian kerusuhan di Ambon yang harus
dilakukan sesegera mungkin, karena telah menyebabkan terlantarnya kegiatan
belajar mengajar di sana, demikian juga persoalan Aceh yang terus
berlarut-larut.
Belakangan, di era pemerintahan Abdurrahman
Wahid, aksi ‘turun jalan’ PII melalui sayap KA-PII tersebut, semakin sering
dilakukan seiring dengan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan amanat
reformasi. Beberapa kebijakan pemerintah soal pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966
tentang Komunisme, kebijakan luar negeri yang pro zionis-kapitalis dan
mengabaikan solidaritas terhadap negara-negara muslim – terutama didalamnya
persoalan Palestina, kenaikan tarif angkutan umum, sistem pendidikan
(kurikulum, penunggalan pembinaan lewat OSIS), anggaran pendidikan yang sangat
rendah dan sebagainya, menjadi persoalan yang disikapi secara kritis oleh
aktivis PII melalui jaringan akspansi KA-PII. Jaringan aksi KA-PII
mengoptimalkan partisipasi massa pelajar melalui simpul-simpul massa PII yang
berada di berbagai lokasi atau basis sekolah dan pondok pesantren di Jabotabek.
Dengan demikian, pendidikan politik terhadap pelajar telah dilakukan sedari
dini melalui penyaluran aspirasi kritis mereka kepada pihak-pihak yang
berwenang, terkait dengan berbagai isu/persoalan yang tengah terjadi di
masyarakat.
Pada tanggal 6 Nopember 1999 bersamaan dengan
Peringatan Hari Lahir Briga-de PII (Harla Brigade PII) ke-52 diresmikan
pembentukan Perguruan Silat Beladiri Pelajar Islam Indonesia (PSBD-PII) untuk
melatih ketahanan fisik ketrampilan bela diri para pelajar pada umumnya dan
anggota PII pada khususnya. Dalam pengembangan selanjutnya PSBD-PII berada di
bawah koordinasi Koordinator Pusat Brigade Pelajar Islam Indonesia (Korpus
Brigade PII).
Hubungan Internasional
SEGERA setelah berdiri, PII juga membuka
perwakilan luar negeri. Mereka yang pernah menjadi perwakilan PII di luar
negeri adalah Hasan Muhammad (Ame-rika Serikat), S. Arifin (Swiss), Shawabi (Mesir),
Mukti Ali (Pakistan), Ilyas Ismed (Filipina), dan Emzita (Irak).
Selain itu PII juga merintis program AFS
(American Fields Service) di Indonesia memulai tahun 1956 dengan pengiriman
tujuh orang pelajar ke Amerika Serikat. Termasuk dalam rombongan pertama ini
adalah penyair Taufiq Ismail dan Z.A. Maulani. Mereka yang pernah mengikuti
program ini antara lain Tanri Abeng (Mantan Menteri Negara Pemberdayaan BUMN
Kabinet Habibie) dan Arief Rahman (Kepala SMU Lab School). Selain itu ada juga
peserta non PII, yaitu Ariel Haryanto (mantan dosen UKSW Salatiga). Pada masa
pemerintahan orde lama program ini sempat dilarang oleh Waperdam Subandrio.
Sekarang program ini dilanjutkan oleh Yayasan Bina Antar Budaya.
Pasang surut PII di tanah air juga mempengaruhi
PII di percaturan internasi-onal. Kiprah PII di forum internasional menyurut.
Baru mulai ada peningkatan aktif-itas di luar negeri pada permulaan 1990-an.
Pada tahun 1990, PII ikut membidani berdirinya Persekutuan Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Islam Asia Tenggara (PEPIAT) yang berkedudukan di Malaysia. Dan
saat ini, mengingat situasi Malaysia yang secara politis belum stabil, maka PII
hendak mengupayakan agar kedudukan PEPIAT bisa dipindahkan ke Indonesia. Selain
itu PII juga ikut berpartisipasi dalam Regional Islamic Da'wah of South East
Asia And Pacific (RISEAP) dan International Islamic Federation of Students
Organization (IIFSO). Bahkan pada kongres IIFSO di Istambul, 1996, Ketua Umum
PB PII periode 1995-1998 A. Hakam Naja, terpilih sebagai Financial Secretary.
Sekarang PII juga mulai merintis lagi pembukaan
perwakilan luar negeri, dimulai dari Malaysia, Mesir, Australia, dan Yordania.
Melalui pengurus perwakilan luar negeri ini PII mengusahakan beasiswa bagi
anggotanya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Yang sudah berjalan adalah
di International Islamic University (IIU) Malaysia dan Al-Azhar University di
Kairo, Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar